LABUANBATU — Tugu baru yang berdiri megah di pusat Kota Aek Nabara, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, belakangan menjadi bahan perbincangan hangat.
Tugu yang dirancang sebagai ikon kota itu menampilkan ikan terubuk—jenis ikan khas daerah pesisir timur Sumut yang terkenal karena kelezatannya.
Sejak dibangun monumen ini tak pernah sepi dari perhatian warga. Bagi sebagian orang, kehadirannya menambah daya tarik pusat kota.
Namun, bagi yang lain, keberadaan tugu justru meninggalkan sejumlah pertanyaan, terutama soal anggaran dan penataan kawasan sekitarnya.
Awalnya, ikon Aek Nabara lekat dengan nama “air dan bara” yang merujuk pada semangat masyarakat perkebunan di wilayah ini. Namun kemudian, ikan terubuk dipilih sebagai simbol baru.
Pergantian ikon inilah yang menimbulkan diskusi di masyarakat: mengapa ikan, dan bukan simbol lain yang lebih merepresentasikan perkebunan atau sejarah lokal?
“Ide camat mendirikan tugu ikan sebenarnya kreatif, tapi banyak yang belum paham alasan filosofisnya,” kata salah seorang warga via WhatsApp, Sabtu (6/9).
Isu yang paling ramai dibicarakan tentu saja biaya pembangunan tugu. Kabar beredar menyebutkan dana yang digelontorkan mencapai ratusan juta rupiah. Sebagian masyarakat menganggap jumlah itu terlalu besar untuk ukuran tugu sederhana.
Beberapa awak media sempat menyoroti hal ini, namun hingga kini informasi resmi terkait sumber dan besaran anggaran belum sepenuhnya terbuka.
Ada yang menyebut dana berasal dari CSR (Corporate Social Responsibility) sebuah bank pemerintah, namun belum ada klarifikasi detail dari pihak berwenang.
Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah bagaimana kawasan sekitar tugu kini berubah fungsi. Setiap pagi, mulai dini hari hingga sekitar pukul 10.00, area di bawah tugu dipadati pedagang ikan basah. Lokasi yang strategis di tengah kota menjadikan tugu sekaligus penanda sekaligus “atap” bagi pasar ikan dadakan.
Pemandangan ini menimbulkan kesan ganda. Di satu sisi, tugu terasa hidup karena menjadi pusat aktivitas ekonomi warga. Namun di sisi lain, keindahan monumen terkesan semrawut karena dipenuhi lapak-lapak darurat dan aroma khas pasar ikan.
Jejak Historis Ikan Terubuk
Bagi masyarakat pesisir Sumatera Timur dan Riau, ikan terubuk bukan sekadar bahan pangan. Sejak berabad-abad silam, ikan ini menjadi simbol kemakmuran.
Catatan sejarah menyebutkan, pada masa Kesultanan Melayu, ikan terubuk kerap menjadi hidangan kehormatan bagi tamu kerajaan. Bahkan hingga kini, ikan ini dianggap kuliner istimewa yang identik dengan jamuan adat.
Dalam budaya Melayu, ikan terubuk melambangkan kesuburan dan keberlanjutan hidup. Telurnya yang berlimpah sering dikaitkan dengan harapan akan rezeki dan keturunan.
Tak heran jika masyarakat di sekitar Labuhanbatu dan sekitarnya merasa tugu ini memiliki makna simbolik yang dalam, meskipun belum sepenuhnya dipahami oleh generasi muda.
Namun, ironisnya, populasi ikan terubuk di alam liar kini semakin langka akibat penangkapan berlebihan. Menjadikan ikan terubuk sebagai ikon kota bisa dibaca sebagai upaya melestarikan ingatan kolektif, meski paradoks muncul ketika monumen ini justru berdiri di kota perkebunan, jauh dari habitat aslinya di sungai dan pesisir.
Tak sedikit warga yang menilai langkah camat Bilah Hulu patut diapresiasi. Menurut mereka, mendirikan tugu ikan sesuai dengan realitas Aek Nabara sebagai pusat perdagangan ikan di pagi hari. Dengan begitu, monumen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai hiasan kota, tapi juga merepresentasikan denyut nadi masyarakatnya.
Namun kritik tetap mengemuka. “Kalau memang tugu itu dibangun dengan biaya besar, harusnya ada pengelolaan yang lebih baik. Bukan hanya sekadar jadi lapak dagangan,” sebut warga.
Pada akhirnya, Tugu Ikan Terubuk ini berada di persimpangan antara simbol kebanggaan dan tanda tanya. Ia bisa menjadi ikon baru Aek Nabara yang memperkuat identitas kota, sekaligus potensi destinasi lokal. Tetapi tanpa transparansi soal anggaran dan penataan kawasan, monumen ini dikhawatirkan hanya akan menjadi bahan perdebatan tanpa akhir.
Yang jelas, monumen ikan terubuk kini menjadi cermin bagaimana sebuah ikon dibaca secara berbeda: sebagai karya kreatif, sebagai sarana ekonomi, atau sekadar ornamen kota yang belum selesai menemukan maknanya.
(Pertanyaan lain, apakah benar di atas tugu Aek Nabara memang benar Sepasang Ikan Terubuk).
Laporan: Aiman Ambarita.















