Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Internasional.Kabupaten LabuhanbatuOpiniSosial & BudayaTerbaru

Jam Belajar Sampai Sore, Berpotensi Melanggar UU Perlindungan Anak

855
×

Jam Belajar Sampai Sore, Berpotensi Melanggar UU Perlindungan Anak

Sebarkan artikel ini

LABUHANBATU — Ketika anak pulang pukul 17.00 WIB, bukan hanya tenaga yang terkuras, tetapi juga hak-hak yang dijamin hukum.

Bayangkan seorang anak kelas 5 SD. Pagi hari ia berangkat pukul 07.00, duduk berjam-jam di ruang kelas, lalu baru pulang menjelang magrib. Tubuhnya lelah, matanya sayu, sementara tugas masih menumpuk di buku.

Apakah ini wajar bagi seorang anak berusia 10 tahun?

Fenomena jam belajar sekolah hingga sore hari kian sering ditemui. Alasan yang dikemukakan terdengar mulia: membentuk disiplin, memperkuat pembiasaan belajar, atau mengejar ketertinggalan kurikulum.

Namun, di balik itu semua, ada satu pertanyaan mendasar, apakah kebijakan ini sejalan dengan hak-hak anak yang dijamin oleh hukum?

Hak Anak dalam Konstitusi dan Undang-Undang

Dasar pertama ada di UUD 1945 Pasal 28B ayat (2):

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Dengan kalimat ini, konstitusi sudah menegaskan perlindungan anak sebagai mandat utama negara.

Selanjutnya, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014) menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.”

Hampir seluruh siswa SD, SMP, bahkan sebagian SMA masuk kategori anak. Pasal 4 menjamin hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 9 menambahkan hak anak untuk memperoleh pendidikan yang mengembangkan pribadi, bakat, dan minatnya.

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 3 menegaskan tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri.

Pendidikan bukan sekadar soal akademik, tetapi juga kesehatan dan keseimbangan hidup.

UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga memperkuatnya. Pasal 79 menyatakan: “Anak berhak memperoleh perlindungan khusus terhadap kesehatan.” Jam belajar yang terlalu panjang hingga sore berpotensi mengganggu kesehatan fisik maupun mental anak.

Tak berhenti di situ, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Konvensi ini menegaskan hak anak atas istirahat, waktu luang, bermain, serta kegiatan rekreatif yang sesuai usianya.

Artinya, hak bermain bukan pelengkap, melainkan kewajiban hukum internasional yang juga mengikat Indonesia.

Hak yang Tergerus Jam Belajar Panjang

Jika dikaitkan dengan payung hukum tersebut, ada beberapa hak anak yang bisa terabaikan:

Hak atas istirahat dan bermain. Anak pulang pukul 17.00 berarti kehilangan waktu untuk beristirahat, bermain, dan bersosialisasi. Padahal, itu bagian penting dari tumbuh kembang yang dijamin konstitusi, UU, dan konvensi internasional.

Hak atas kesehatan. Duduk seharian di kelas membuat fisik lelah, mental jenuh, dan pola makan tidak teratur. Ini bertentangan dengan UU Kesehatan yang menegaskan perlindungan khusus bagi anak.

Hak untuk berinteraksi dengan keluarga. Waktu emas bersama orang tua dan saudara terpangkas. Padahal keluarga adalah pondasi pendidikan karakter.

Pendidikan Bukan Soal Panjang Jam

Menambah jam sekolah tak otomatis membuat anak lebih pintar. Banyak penelitian menunjukkan efektivitas belajar menurun tajam ketika anak kelelahan.

Pendidikan yang baik seharusnya menyeimbangkan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Itu semua bisa dicapai dengan metode kreatif, bukan sekadar menambah jam duduk di kelas.

Alarm Kebijakan

Jam belajar hingga sore hari harus dipandang sebagai alarm. Kebijakan ini bisa bertentangan dengan amanat konstitusi, undang-undang nasional, hingga perjanjian internasional yang sudah diratifikasi. Bila dibiarkan, berarti negara lalai memenuhi kewajibannya melindungi hak anak.

Karena itu, mari kita ingat: anak bukan mesin belajar. Mereka manusia yang berhak tumbuh dengan sehat, bahagia, dan utuh. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mencerdaskan tanpa mengorbankan hak-hak dasar anak sebagaimana dijamin oleh hukum.

Alternatif yang Lebih Manusiawi

Daripada menambah jam belajar, ada cara yang lebih berpihak pada anak:

Optimalisasi jam efektif: manajemen waktu pembelajaran harus ditingkatkan, bukan sekadar menambah durasi.

Metode belajar kreatif: pembelajaran berbasis proyek, diskusi, dan permainan edukatif bisa membuat anak lebih aktif tanpa terbebani.

Ekstrakurikuler seimbang: olahraga, seni, dan kegiatan sosial adalah bagian dari pendidikan.

Sinergi dengan orang tua: sekolah seharusnya memberi ruang bagi keluarga untuk tetap menjalankan fungsi pendidikan di rumah.

Penutup: Jangan Lupakan Masa Anak-anak

Pendidikan adalah hak, bukan beban. Pendidikan adalah sarana tumbuh kembang, bukan sekadar duduk di bangku kelas berjam-jam. Dengan memperpanjang jam sekolah tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak, kita sebenarnya sedang memperpendek masa kanak-kanak mereka.

Sudah saatnya pembuat kebijakan pendidikan kembali bertanya: apakah kebijakan ini benar-benar mendidik, atau justru melanggar hak-hak dasar anak? Karena anak-anak bukanlah mesin pencetak nilai. Mereka manusia yang berhak bahagia, berhak bermain, dan berhak tumbuh sesuai kodratnya.

Oleh: Aiman Ambarita

(Sabtu, 13/09/2025)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *