Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
HukumNasionalTerbaru

Pelapor Mengantar Surat Panggilan: Sebuah Kejanggalan Prosedural dalam Penegakan Hukum di Labusel

1041
×

Pelapor Mengantar Surat Panggilan: Sebuah Kejanggalan Prosedural dalam Penegakan Hukum di Labusel

Sebarkan artikel ini

Ket Foto: Surat Polisi diantar oleh pelapor diterima oleh Petugas Satpam, tempat terlapor bekerja, Sabtu (20/10/25).

 

LABUSEL — Dalam sebuah proses penyidikan pidana, setiap tahapan memiliki makna hukum yang tidak bisa disepelekan. Salah satunya adalah soal mekanisme penyampaian surat panggilan. 

Sekilas terlihat sederhana, surat hanya perlu sampai ke tangan pihak yang dipanggil. Namun ketika pelapor justru yang mengantarkan surat panggilan kepada terlapor, di situlah kejanggalan serius terjadi.

Hukum acara pidana di Indonesia telah mengatur dengan jelas tata cara pemanggilan seseorang dalam proses penyidikan.

Pasal 112 ayat (1) dan (2) KUHAP menyebutkan bahwa penyidik wajib memanggil tersangka atau saksi secara patut dan sah melalui surat panggilan resmi.

Kemudian diperkuat lagi oleh Pasal 227 KUHAP, yang menegaskan bahwa surat panggilan tersebut harus dilaksanakan oleh petugas berwenang dan ditandatangani oleh pejabat yang berhak.

Aturan ini tidak hanya bersifat administratif. Ia menjadi bentuk jaminan legalitas dan akuntabilitas tindakan penyidik, agar setiap proses hukum berjalan sesuai prosedur dan tidak menimbulkan prasangka keberpihakan.

Lebih jauh, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana memperjelas mekanisme tersebut. Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, disebutkan bahwa surat panggilan harus disampaikan oleh petugas Polri yang ditunjuk, dan Pasal 15 ayat (1) mewajibkan adanya tanda bukti penerimaan dari pihak yang dipanggil.

Artinya, tindakan pelapor yang mengantarkan sendiri surat panggilan tidak memiliki dasar hukum dan berpotensi mencederai integritas penyidikan.

Dalam praktiknya, pelapor dan terlapor biasanya berada dalam hubungan yang tegang, bahkan bermusuhan.

Maka, mengizinkan pelapor mengantar surat panggilan kepada terlapor sama saja dengan melempar bensin ke bara api yang belum padam.

Tindakan seperti ini tidak hanya berpotensi menimbulkan konfrontasi fisik atau verbal, tetapi juga menyisakan kesan buruk terhadap profesionalitas aparat penegak hukum.

Penyidikan harus berdiri di atas asas imparsialitas dan netralitas. Ketika pelapor dilibatkan dalam urusan administratif kepolisian, publik akan menilai bahwa aparat tidak lagi menjalankan fungsi penegakan hukum secara independen, melainkan membiarkan proses hukum dicampuri oleh pihak yang berkepentingan langsung terhadap perkara.

Secara administratif, surat panggilan yang diserahkan oleh pelapor dapat dianggap tidak sah secara hukum. Sebab, KUHAP mensyaratkan adanya bukti penerimaan resmi yang ditandatangani oleh petugas penyidik.

Jika bukti itu berasal dari pelapor, maka keabsahannya menjadi lemah dan bisa dipersoalkan di kemudian hari, baik dalam tahap penyidikan maupun di persidangan.

Lebih jauh, hal ini dapat dikategorikan sebagai maladministrasi penyidikan. Dalam konteks pengawasan, masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan berhak melaporkan kejanggalan semacam ini ke Propam Polri atau Ombudsman Republik Indonesia. 

Laporan semacam itu penting sebagai kontrol agar penyidik tetap bekerja sesuai dengan prinsip profesional, proporsional, dan prosedural.

Kepolisian memiliki mandat besar sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia—yakni menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Maka, setiap tindakan yang tampak remeh, termasuk siapa yang mengantarkan surat panggilan, harus dijalankan dengan penuh ketertiban administratif.

Ketika hukum dijalankan setengah hati, kepercayaan publik perlahan mengikis. Kasus pelapor yang mengantar sendiri surat panggilan bukan sekadar soal prosedur; ia menyentuh jantung persoalan tentang bagaimana hukum ditegakkan–apakah dengan prinsip atau sekadar formalitas.

Proses hukum yang benar tidak hanya menuntut hasil yang adil, tetapi juga cara yang benar dalam mencapainya.

Surat panggilan yang diserahkan secara sah oleh penyidik mencerminkan penegakan hukum yang tertib dan berwibawa.

Sebaliknya, ketika pelapor mengambil alih peran itu, maka yang terguncang bukan hanya prosedur, melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap integritas penegak hukum.

Laporan: Aiman Ambarita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *